Mewujudkan Kesadaran Etika Profesi Hukum dalam Membentuk Kepercayaan Publik

    Mewujudkan Kesadaran Etika Profesi Hukum dalam Membentuk Kepercayaan Publik

    KOTA MALANG - Semarak Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ke-66 di meriahkan dengan Orasi Ilmiah bertajuk “Etika Profesi Hukum Dalam Pemenuhan Keadilan di Masyarakat”, Sabtu (9/7). Dalam Orasi Ilmiah tahun ini menghadirkan dua narasumber, yaitu oleh dosen FH UB yakni Dr. Abdul Madjid, SH, MH dan Bambang Hery Mulyono, SH, MH selaku Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Pelatihan Hukum.

    Bambang Hery saat ini merangkap sebagai Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, ia juga merupakan alumni FH UB saat menempuh Program Studi Sarjana Ilmu Hukum.

    Ia menyampaikan bagaimana konsep dari etika profesi hukum yang tidak bisa lepas dari suatu tindakan baik dan buruk. Menurutnya The Bangalore Principles of Judicial Conduct menjadi dasar etika sekaligus prinsip yang harus dipegang teguh oleh hakim di seluruh dunia. “Seorang hakim harus memastikan bahwa perilakunya tidak tercela dari sudut pandang yang wajar. 

    Tingkah laku seorang hakim harus menegaskan kembali kepercayaan masyarakat terhadap kepatuhan lembaga peradilan. Keadilan tidak hanya harus dilakukan tetapi juga harus menampakkan kesungguhan yang dilakukan”. Begitu pula hal tersebut selalu diupayakan oleh Mahkamah Agung untuk memperkuat integritas maupun karakteristik hakim di tingkat pusat dan daerah melalui hukum kodifikasi etik, etik kodifikasi moral serta kekuatan moral.

    Sebagai orang yang mengemban profesi sangat mulia, Bambang Hery menambahkan tujuan dari etika profesi digunakan sebagai pedoman atau penuntun untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat. Sebagaimana dalam menjalankan tugas-tugasnya, etika profesi akan menjadi cara pandang untuk menjaga marwah lembaga/institusi hukum itu sendiri. Karena sebuah keadilan tidak hanya sekedar dijalankan sesuai pedoman tapi juga harus terlihat, terbuka dan tertanam keseriusan agar keadilan benar-benar dapat tersampaikan di lingkungan masyarakat. 

    Mengutip pesan sekaligus instruksi yang disampaikan Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin, SH, MH. bahwa integritas merupakan kunci yang akan menentukan baik dan buruknya wajah lembaga peradilan, memelihara integritas adalah harga mati, tidak bisa ditawar lagi, tanpanya kehormatan profesi yang akan mati.

    Ia-pun mengingatkan agar setiap aparatur yang memiliki kewenangan tetap menjalankan hukum peradilan secara benar, hal tersebut menjadi sebuah perhatian manakala berkaitan dengan pelanggaran disiplin, kode etik maupun penyimpangan perilaku hakim. “Jadi saya berharap kita semua bersama-sama mendukung upaya untuk mewujudkan jajaran peradilan yang menjaga kredibilitasnya, ” ucap pesan yang disampaikan sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung saat ini.

    Sedangkan dalam materinya “Etika Profesi Sebagai Landasan Moral Pendidikan dan Penegakan Hukum”, Dr. Abdul Madjid, SH, MH yang juga merupakan dosen Hukum Pidana FH UB menyampaikan perjalanan sejarah pendidikan hukum yang berawal dari rechtsschool kemudian menjadi rechtshogesschool. 

    Keduanya memiliki peranan untuk menciptakan konsep etika profesi hukum, dimana pendidikan hukum lebih diarahkan kepada penguataan norma, membangun kode etik praktisi hukum. 

    Tentunya dalam perkembangannya saat ini, pendidikan hukum tidak hanya akan menjadi penegak hukum, tapi memlliki peranan secara multidimensi. “Membicarakan persoalan etika profesi tidak terlepas dari sejarah pendidikan hukum di Indonesia. Kita tahu bahwa sumbernya rechtsschool yang lebih mengutamakan kemampuan keterampilan penguasaan undang-undang, ” terang Dr. Abdul Madjid.

    Menurutnya, terdapat dua aspek dasar yang menjadikan etika profesi menjadi faktor penting dalam pendidikan tinggi hukum, yakni kapasitas diri keilmuan dan pelayanan klien. Dua aspek dasar tersebut harus dijadikan landasan dalam pengemban profesi hukum. 

    Selain itu pengembangan pendidikan tinggi hukum patut mempertimbangkan  aspek-aspek manusia yang meliputi tiga dimensi, yakni dimensi nilai, dimensi norma, dan dimensi realitas. “Pendidikan hukum harus menyangkut aspek-aspek manusia. Hukum itu mengandung tiga aspek. 

    Jadi ketika kita memberikan substansi pendidikan hukum, tidak cukup hanya memberikan aspek-aspek pengetahuan tentang keterampilan hukum, tetapi juga aspek-aspek nilai yang terkandung dalam peraturan atau kaidah itu, dan bagaimana realitas hukum diberlakukan dalam masyarakat, ” pungkasnya.

    Dalam pemaparan Dr. Abdul Madjid juga memiliki persamaan dengan pemaparan Bambang Hery Mulyono, SH, MH, yakni persoalan penegakan hukum juga tidak kalah beratnya terutama terkait dengan konsistensi dan kepercayaan masyarakat, yang cenderung menimbulkan polemik berkepanjangan. 

    Maka dari itu, etika profesi adalah terkait dengan persoalan-persoalan nilai, apa yang terkandung dalam kode etik adalah bagian dari standar yang diharapkan. Dengan demikian pendidikan etika profesi ini tidak terlalu mengikat kepada kode etik profesi, tetapi lebih menekankan aspek-aspek nilai dalam substansi etika profesi supaya disadari bahwa etika profesi justru lebih tinggi dari norma-norma atau kaidah norma yang lain. (psik fh) 

    kota malang
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Rafie, Mahasiswa Vokasi UB Wakili Asia dalam...

    Artikel Berikutnya

    Danrem 083/Bdj Hadiri Sosialisasi dan Aktivikasi...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Kapolri Sebut Pengamanan Nataru Akan Dilakukan 141.443 Personel
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan dan Paradoks Kebijakan
    Polda Jatim Berhasil Ungkap 28 Kasus TPPO, 41 Tersangaka Diamankan
    Hendri Kampai: Negara Gagal Ketika Rakyat Ditekan dan Oligarki Diberi Hak Istimewa
    Hendri Kampai: Pemimpin Inlander Selalu Bergantung pada Asing

    Ikuti Kami